Seperti yang sudah saya duga, bahwa pasca aksi damai 4 November 2016, maka berita negatif tentang aksi ini akan muncul jauh melebihi berita positifnya.
Bad news is a good news.
Beberapa orang di media sosial memberi judgement, bahwa aksinya ricuh, aksinya anarkis, umat islam gak peduli kebersihan, merusak fasilitas umum, gak peduli keindahan taman, dll.
Dan semua yang mengeluarkan statement itu ternyata TIDAK IKUT AKSI.
“Sok ganteng boleh, sok tau jangan.” -ICR-
Bagaimana mungkin memberi penilaian tanpa melihat langsung?
Adilkah kita memberi judgement tanpa ada di lokasi?
“Loh, kan gw lihat di berita….”
Dan jawabannya sangat mudah, siapa sih yang punya media itu?
Kemana sih keberpihakan media itu?
Ini bukan lagi era informasi. Ini adalah era “kecerdasan” mengelola informasi.
Broadcast (BC) yang berisi kebencian, permusuhan, adu domba, fitnah, teror dan hal negatif lainnya, datang silih berganti dengan sangat cepat. Lebih cepat dari masa tunggu ojek online yang sedang kita pesan.
Saat membaca berita terdakang kita harus lebih cerdas dan kritis. Pun dalam menyebarkan broadcast, jika tidak ada sumbernya, jika yang posting adalah teman kita yang kita kenal biasa asal copy-paste berita, atau sekedar ingin terlihat update, maka sebaiknya tidak usah diteruskan.
Wait and see terkadang lebih baik. Sampai rilis berita yang resmi dan terpercaya. Berita resmi saja kadang bisa dipelintir dan hanya dikutip sebagian hingga merubah keutuhan makna, apalagi BC. Bersabarlah menunggu sampai kita melihat wawancara resmi / konferensi pers yang utuh. Baru simpulkan.
Bagi saya yang hadir aksi damai 4 November 2016, sungguh indah sekali. Aksinya tertib dan damai. Massa aksi sejak jam 5 sore sudah berangsur-angsur pulang dan merapat ke masjid terdekat. Yang di depan MK, patung kuda, gedung indosat, bundaran BI sampai balaikota sudah mulai bersih.
Tersisa segelintir (dibanding keseluruhan massa) yang masih bertahan didepan istana.
Lantas, pecah kericuhan setelah maghrib, yang konon didalangi sekelompok orang beratribut HMI, tapi jika diperhatikan jelas cara berpakaiannnya lebih mirip preman. Dan PB HMI juga sudah mengkonfirmasi bahwa itu bukan mereka. #HidupProvokator
Acungan jempol luar biasa untuk FPI yang memegang teguh janjinya untuk aksi damai.
Bahkan FPI membuat barikade khusus untuk melindungi polisi. Dan tiba-tiba saya ngefans sama FPI. #CowoBanget #lah
Lantas ada kericuhan gak jelas di Penjaringan yang merusak minimarket. Media menggiring opini untuk langsung meyimpulkan bahwa itu ulah massa aksi 4 November, hanya karena atributnya.
Apakah bisa sedangkal itukah analisisnya?
Adilkah memberi label tanpa konfirmasi?
Pun begitu dengan semua orang yang ikut menyebarkan info tsb, padahal gak ada di lokasi.
“Kalo gak asik jangan sok asik, kalo gak tau jangan sok tau.” -ICR-
Tak ada habisnya membahas hal negatif. Selalu datang dan saling membalas.
Sekarang, yuk mari berusaha melihat hal-hal positif yang tak terberitakan.
Jujur, ini demonstrasi paling humanis yang pernah saya rasakan (siang-maghrib).
Selama saya SMA dan kuliah dulu, berkali-kali saya ikut demonstrasi tidak pernah ada yang “sesantai” ini, padahal secara jumlah massa, ini yang paling banyak. Konon sampai 1 JUTA massa aksi yang hadir dari seluruh indonesia.
Dan bayangkan, dimana-mana massa aksi berlomba memunguti sampah, ada yang berkostum putih, hitam, orange, dll. Dimana mayoritas anak muda yang melakukannya. Inilah wajah generasi muda Islam sesungguhnya. Cinta kebersihan.
Saat biasanya aksi membuat saya kehausan dan kelaparan, kali ini sepanjang jalan selalu ada yang menawari minum dan makan, mulai dari air mineral ukuran gelas sampai botol, dari gorengan hingga nasi padang. Beragam snack pun di bagikan ibu-ibu pengajian secara gratis. Jadi inget bulan Ramadhan tiap buka puasa di jalan. #ParaPencariTakjil
Saat saya ingin melompati taman kecil hanya untuk memotong jalan, tiba-tiba seseorang berpeci putih menghadang dan bilang “jangan lewat sini mas, nanti rusak tanemannya”. #deg. Malu luar biasa. Biasanya saya sering negur orang, kali ini saya yang ditegur. Padahal gak niat menginjak, hanya ingin lompat.
Tapi, ada rasa bahagia luar biasa, ternyata banyak yang peduli dengan penjagaan taman dan fasilitas umum saat aksi ini.
Tak ada dorong-dorongan dengan polisi seperti aksi biasanya saat jadi bunker, tak sibuk juga berlari berputar jadi border. Bahkan saya bisa mendengarkan orasi ulama sambil duduk di trotoar dan makan cilok. #HidupMecin
Disisi jalan yang lain, beragam makanan lengkap dijajakan pedagang, semua jenis jajanan sepertinya tersedia. Dan raut muka bahagia dari pedagang terlihat jelas karena beberapa laris manis. Dagangannya sudah ludes terjual meski masih siang. #BerkahAksiDamai
Di sudut yang lain, polisi sangat santai mengobrol dengan massa aksi, layaknya teman lama yang lagi coba pdkt.
Beberapa yang lain sibuk foto-foto dan minta difotoin, sepertinya sedang reuni dengan sahabat-sahabat lama. Yang mainstream, tentu saja sedang sibuk selfie untuk segera di upload ke media sosial agar selalu hitz. #UpdateNgetz
Dibeberapa titik massa aksi sedang saling menbantu wudhu dengan bergantian memegangi air mineral, untuk sholat ashar dengan beralas aspal dan spanduk.
Indahnya ukhuwah.
Ada juga yang menyediakan fasilitas listrik dan colokan agar massa aksi bisa mengisi ulang daya hp-nya.
Akhirnya saya tiba pada sebuah kesimpulan, ini bukan demonstrasi.
ini lebih mirip festival aspirasi, car free day, reuni, pasar jajanan, bagi-bagi takjil, atau apalah sebutannya. Yang jelas bahasa yang saya rasa cukup ideal adalah SILATURAHIM AKBAR UMAT ISLAM. Bukan demonstrasi.
Karena berbagai kebahagiaan hadir disini. Karena berbagai golongan ada disini. Yang biasa terpecah karena perbedaan manhaj dan harokah tiba-tiba bersatu padu disini.
Bergotong royong, berswadaya memberikan kontribusi terbaik yang mampu dihadirkan.
Demi tujuan untuk berpihak membela Al-Qur’an, karena kelak Al-Qur’an yang akan menjadi pembela bagi kita.
Sejuk kan kalau mendengar hal postif dari aksi ini? π
Bahwa masih ada umat islam yang “nyeleneh” tentu saja ada. Banyak.
Masih buang sampah sembarangan, masih injak tanaman, orasinya provokatif dan mengundang kebencian. Kata-kata “Gantung” / “penggal lehernya” / “deportasi” tertulis di beberapa spanduk dan terdengar dari orator-orator gak jelas yang provokatif, dan teriakkan tsb diikuti beberapa massa aksi yang kurang cerdas dan sumbunya pendek.
Tapi apa itu yang harus di highlight?
Apa itu tuntutan utamanya?
Itu hanya oknum. Dan itu sebagian kecil. Tuntutan resmi tentu yang disampaikan kepada pemerintah. Apa saat diskusi dengan pemerintah, ulama kita tuntutannya adalah “gantung” / “penggal lehernya”? Tidak.
Ini negara hukum, ulama kita menjunjung tinggi hukum sebagai panglima.
Jika masih ada orang yang nyeleneh ya harap dimaklumi, karena tingkat pendidikan masyarakat kita berbeda-beda, background-nya pun berbeda. Sehingga gak mungkin dipaksakan sama.
Yang jelas kita bisa memilah dan memilih informasinya sebagai insan yang cerdas.
So, mari merawat akal sehat.
Dan selamat menjadi manusia positif.
π
Agus Taufiq
Ketua BEM FTUI 2011-2012
ill be there Brother ,, and its so peaces
:))